Jumat, 26 November 2010

Kalimat Ambigu

Ambiguitas atau ketaksaan makna atau kegandaan makna dapat terjadi
pada tingkat fonetik, leksikal, dan gramatikal.  Kalimat ambigu akan sulit
dipahami oleh orang yang mengalami gangguan hemisfer kanan dan akan
sulit diproses oleh orang yang memiliki kapasitas kerja memori yang
rendah. Dari sisi psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi proses pemahaman
terhadap ujaran, yaitu kalimat yang ambigu memerlukan waktu lebih lama
untuk dipahami. Ambiguitas dapat dihindarkan melalui konteks (situasi dan
kalimat), pemberian penanda batas (leksikal, unsur prosodi berupa jeda,
tanda baca), dan kecermatan struktur gramatikal dengan memerhatikan
fitur-fitur semantik kata.
 


Ambiguitas dalam Psikolinguistik



A.  Pendahuluan
Ambiguitas atau ketaksaan  makna  adalah gejala dapat terjadinya
tafsiran lebih dari satu makna. Hal ini dapat terjadi baik dalam ujaran lisan
maupun tulisan.  Tafsiran lebih dari satu ini dapat menimbulkan keraguan
dan kebingungan dalam mengambil keputusan tentang makna yang
dimaksud. Ujaran seperti  Anak istri lurah cantik  dapat menimbulkan
kebingungan, apakah maksudnya anak dan istri lurah yang cantik? ataukah
anak, istri, dan lurah semuanya cantik?  Begitu pula dengan kalimat Ini bisa.
Kita tidak tahu apakah bisa di sini berarti racun atau dapat.

B.  Jenis Ambiguitas
Ullmann (dalam Pateda, 2001: 202; Djajasudarma, 1999: 54) membagi
ambiguitas menjadi tiga tipe utama, yaitu ambiguitas tingkat fonetik, tingkat
leksikal, dan tingkat gramatikal.
1.  Ambiguitas tingkat fonetik
Ambiguitas  tingkat fonetik  timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi
bahasa yang diujarkan, kadang karena kata-kata yang membentuk kalimat
diujarkan terlalu cepat sehingga orang menjadi ragu akan makna kalimat 

yang diujarkan (Pateda, 2001: 202),  seperti tampak pada contoh  dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berikut:
(1)    beruang /beruaN/  ‘mempunyai uang’ atau ‘nama binatang’
(2)    /bukanaNka/  bukan angka, buka nangka, bukan nangka
(3)    a near ’ginjal’ – an ear ‘telinga’
Ambiguitas ini berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi
bahasa yang kita dengar. Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita
mengambil keputusan yang keliru.
2.  Ambiguitas tingkat leksikal
Ambiguitas tingkat leksikal adalah macam ambiguitas yang
disebabkan oleh bentuk leksikal yang dipakai (Dardjowidjojo, 2005: 76). Hal
ini berkaitan dengan makna yang dikandung setiap  kata yang dapat
memiliki lebih dari satu makna atau mengacu pada sesuatu yang berbeda
sesuai lingkungan pemakaiannya, sebagaimana tampak pada contoh-
contoh berikut:
(4)    Ini bukunya. 
(5)    Masing-masing mendapat satu kursi.
(6)    He was shot near the bank. 
Pada (4)  kata  buku  dapat mengandung makna  lebih dari satu, sehingga
pada kalimat tersebut tidak jelas  yang manakah  makna  buku  dimaksud.
Begitu pula halnya pada (5)  dan (6),  kata  kursi  dan  bank  dapat 

mengandung  lebih dari satu makna dan pada kedua kalimat tersebut  tidak
ada kejelasan makna apa yang dimaksud.
3.  Ambiguitas tingkat Gramatikal
Ambiguitas ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis
(Djajasudarma, 1999: 55). Pada tataran morfologi ambiguitas muncul dalam
pembentukan kata secara gramatikal, misalnya kata Pemukul (peN + pukul)
yang bermakna ganda ‘orang yang memukul’ atau ‘alat untuk memukul’.
Dalam bahasa Inggris prefiks  in-  yang mengakibatkan makna ‘into, within,
towards, upon’, pada bentuk  indent  (*in + dent)  bermakna ‘memasukkan’
atau ‘lekuk’.  
Pada tataran sintaksis ambiguitas muncul pada frasa, klausa, dan
kalimat. Tiap kata yang membentuk frasa atau kalimat itu telah jelas, tetapi
dalam pengombinasiannya dapat memiliki tafsiran lebih dari satu
pengertian.  Frasa  orang tua  dapat bermakna ‘orang yang tua’ atau ‘ibu-
bapak’. Dalam kalimat  I met a number of old friends and acquitances
apakah kata  old  hanya mengacu pada  friends  ataukah pada  friends  dan
acqutances, hal ini merupakan suatu tafsiran ganda. 
Gleason dan Ratner (1998, dalam Dardjowidjojo, 2005: 77) membagi
ambiguitas gramatikal menjadi dua macam, yaitu:
a.  Ambiguitas sementara (local ambiguity), yaitu fungsi sintaktik suatu
bentuk leksikal berstatus ambigu sampai pada suatu saat di mana kita 

memperoleh kata-kata tambahan yang mengudari (disambiguate)
ambiguitas itu. Contoh:
(7)    The horse raced past the barn fell.
Sebelum mendengar kata  fell, kata  raced diduga  sebagai predikat  the
horse  karena urutan  NP-VP  maka  V  merupakan predikat  NP.
Interpretasi pertama kita adalah bahwa kuda itu berlari melewati
kandang. Namun, begitu mendengar verba  fell  jelaslah bahwa
predikatnya bukan  raced, tetapi  fell. Dengan demikian kalimat tersebut
tidak lagi ambigu setelah munculnya verba fell.
b.  Ambiguitas abadi (standing ambiguity), yaitu kalimat yang tetap ambigu
walaupun telah sampai pada kata terakhir. Contoh:
(8)   The shooting of the hunter was terrible.
(9)   Old men and women went to town.
Pada kalimat-kalimat tersebut tetap ada dua tafsiran makna untuk
masing-masing kalimat walaupun kalimat tersebut telah berakhir.

C.  Ambiguitas dari Segi Neurologi dan Psikologi
Faktor neurologis merupakan faktor yang juga sangat penting dalam
penguasaan bahasa. Proses berbahasa ini dikendalikan oleh otak yang
merupakan pengatur dan pengendali gerak semua aktivitas manusia.
Bagian otak manusia yang menangani fungsi bahasa disebut korteks
selebral, yang terdiri dari dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan kanan. Kedua 

hemisfer ini dihubungkan oleh korpus kalosum yang mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan kerja kedua hemisfer tersebut. 
Pada mulanya, melalui berbagai penelitian dan tes  yang dilakukan
para ahli  (Wada, Kimura, dll), dinyatakan bahwa hemisfer kiri bertanggung
jawab  dalam pengelolaan bahasa. Namun, perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa hemisfer kanan pun turut bertanggung jawab dalam
penggunaan bahasa walaupun tidak seintensif hemisfer kiri. Hal ini didapati
pada orang-orang yang terganggu hemisfer kanannya, yaitu antara lain
kemampuan mengurutkan peristiwa sebuah cerita menjadi kacau,
kesukaran menarik inferensi, kesukaran memahami metafora atau
sarkasme, dan tidak dapat memahami kalimat yang ambigu  (lihat
Dardjowidjojo, 2005: 212-213). Dari uraian tersebut tampak bahwa kesulitan
mendeteksi kalimat yang ambigu dapat berkaitan dengan faktor neurologis,
terutama hemisfer kanan. Pada kondisi otak yang normal (kedua hemisfer
tidak mengalami kerusakan) ambiguitas berkaitan dengan  kerja  memori
leksikal manusia. Angela D. Friederici (dari Max Planck Institute of Cognitive
Neuroscience) menyatakan bahwa kalimat yang ambigu akan sulit diproses
oleh orang yang memiliki kapasitas kerja memori yang rendah.
Dari  sudut psikolinguistik,  ambiguitas dipengaruhi oleh komprehensi
yang berkaitan dengan pemahaman atas ujaran.  Pemahaman terhadap
kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang lebih lama untuk diproses.
Hal ini terjadi karena pendengar menerka makna tertentu, tetapi ternyata 

terkaan itu  tidak benar  sehingga  harus mundur kembali untuk memroses
ulang seluruh interpretasi dia (Dardjowodjojo, 2005: 76). 
Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain oleh MacKay (1966),
Foss (1970),  dan  Garret (1970) yang membuktikan bahwa ambiguitas
berpengaruh terhadap pemahaman. Melalui analisis  Reaction Times  (RT)
terhadap kalimat ambigu didapati hasil bahwa kalimat ambigu
memperlambat proses pemahaman dibandingkan dengan  kalimat yang
tidak ambigu.  Foss dan Jenkins (1973) bahkan mengaitkan proses
pemahaman terhadap kalimat ambigu ini dengan konteks yang netral dan
bias, seperti tampak pada tabel berikut (dalam Foss, 1978: 123):
Context
Sentence  Type
  Ambiguous   Unambiguous 

Netral
The merchant put his straw
beside the machine.
RT = 564
The merchant put his oats
beside the machine.
RT = 525

Biased
The farmer put his straw beside
the machine.
RT = 549
The farmer put his oats beside
the machine.
RT = 513

RT: msec

D.  Pemecahan Masalah Ambiguitas
Dalam berbagai macam ambiguitas mana pun, yang memegang
peranan sangat penting adalah konteks. Dari konteks itulah kita dapat
menentukan makna yang dimaksud (lihat Dardjowodjojo, 2005: 78; Chaer, 

2003: 288) sehingga ambiguitas dapat  dihilangkan.  Konteks ini dapat
berupa konteks situasi sehingga pada kalimat (6),  bila konteksnya adalah
transaksi uang, maka bank kemungkinannya merujuk pada tempat simpan-
menyimpan uang. Bila konteksnya polisi brutal yang mengejar-ngejar
pemburu,  maka kalimat (8) mungkin berarti penembakan terhadap si
pemburu, bukan kualitas tembakan si pemburu itu. 
Selain konteks situasi seperti contoh di atas, konteks kalimat pun
dapat menghilangkan ambiguitas. Misalnya, bila kalimat (5) diujarkan “Pada
pemilihan anggota dewan masing-masing  partai  mendapat satu kursi”
jelaslah acuan makna kursi dalam kalimat itu, yaitu kedudukan.
Pemberian penanda batas dapat pula menghindarkan ambiguitas,
antara lain penanda batas:
1.    Leksikal, seperti pada contoh berikut:
(10) Guru baru datang
a. Guru baru itu datang
b. Guru itu baru datang
2.  Unsur prosodi berupa jeda (dalam ragam lisan), sehingga klausa (10)
menjadi:
c. Guru baru // datang
d. Guru // baru datang
Begitu pula dengan kalimat bahasa Inggris  They are broiling hens
yang melalui jeda  dalam  pengucapan dapat dipahami maksudnya  apakah
They // are broiling // hens  ataukah  They are // broiling hens. Namun, 

terdapat pula  struktur gramatikal  yang ambiguitasnya tidak  dapat diatasi
melalui jeda seperti dalam kalimat bahasa Inggris berikut:
(11)   The chicken is ready to eat.
Untuk menghindarkan ambigu, kalimat tersebut dapat diparafrase (cara
leksikal) sebagai berikut:
a. The chicken is ready to eat (something).
b. The chicken is ready to be eaten.
3.  Tanda baca (dalam ragam tulis), misalnya:
(12)  Buku sejarah baru
a. Buku-sejarah baru (Yang baru adalah buku sejarah)
b. Buku sejarah-baru (Buku tentang sejarah baru)
Ambiguitas  pun  dapat  dihindarkan melalui kecermatan struktur
gramatikal termasuk pula  dengan memperhatikan fitur-fitur semantik kata
(leksem). Sebagai contoh, ambiguitas frasa dari C.A. Mess (dalam Chaer,
2003: 289):
(13)  Lukisan Yusuf
Struktur frasa tersebut memiliki interpretasi:
(a) Lukisan itu milik Yusuf.
(b) Lukisan itu karya Yusuf.
(c)  Lukisan itu menampilkan wajah Yusuf.
Interpretasi-interpretasi tersebut muncul karena fitur-fitur makna inheren
yang dimiliki leksem Yusuf, yaitu:  

-  [+manusia] yang berpotensi [+pemilik] sehingga menimbulkan
interpretasi (a)
-  [+pelaku] yang memunculkan interpretasi (b)
-  [+objek] yang memunculkan interpretasi (c).

E.  Penutup
Ambiguitas dapat terjadi  pada  tingkat fonetik (pengujaran yang terlalu
cepat), leksikal (setiap kata dapat memiliki lebih dari satu makna), dan
tingkat gramatikal (pada tataran morfologi dan sintaksis).
Dari sisi neurologi, kalimat ambigu akan sulit dipahami oleh orang yang
mengalami  gangguan hemisfer kanannya. Pada kondisi otak yang tidak
mengalami gangguan, kalimat ambigu akan sulit diproses oleh orang yang
memiliki kapasitas kerja memori yang rendah.
Menurut psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi oleh proses
pemahaman terhadap suatu ujaran. Kalimat yang ambigu memerlukan
waktu yang lebih lama untuk dipahami dibandingkan dengan kalimat yang
tidak ambigu.  
Ambiguitas dapat dihindarkan antara lain melalui konteks (situasi dan
kalimat), pemberian penanda batas (leksikal, unsur prosodi  berupa jeda,
tanda baca), dan kecermatan struktur gramatikal dengan memerhatikan
pula fitur-fitur semantik kata. 

Pustaka Acuan

Aminuddin. 2003.  Semantik. Pengantar Studi tentang Makna. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
__________ . 2003. Psikolinguistik. Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono.  2005.  Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999.  Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu
Makna. Bandung: Refika.
Foss, Donald J. dan Hakes, David T. Tanpa tahun.  Psycholinguistics. An
Introduction to The Psychology of Language. New Jersey:
Prentice-Hall.
Lyons, John. 1983. Semantics. Volume 2. Cambridge: Cambridge University
Press.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
http://theses.lub.lu.se/archive/2006/04/27/JohannaFrojmark.pdf.  Diakses  tgl
8 Oktober 2007.
http: //www.Cos.Cam.ac.uk/Psycho.pdf. Diakses  8 Oktober 2007.
http://www.linguist.org.cn/doc. Diakses 8 Oktober 2007.








 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar