Selasa, 28 September 2010

Denominasi Rupiah
Isu denominasi rupiah yang beredar belakangan ini cukup menarik perhatian masyarakat. Keresahan cukup wajar karena masyarakat teringat pemotongan nilai uang dizaman Bung Karno (1959) dimana inflasi mencapai 635,5%!. Lebih banyak tanggapan kuatir akan dampak ‘pemotongan’ nilai rupiah, terutama bagi kalangan masyarakat kecil. Nah, saat berbicara denominasi lalu dikaitkan dengan pemotongan nilai rupiah, mungkin telah sedikit salah jalan dalam dialog alias gak nyambung. Denominasi bukanlah sanering.
Beda Denominasi dan Sanering
Denominasi lebih berupa penyederhanaan penyebutan satuan atau nilai mata uang dengan mengurangi jumlah digit. Jadi jumlah digit dikurangi tetapi NILAI atau DAYA BELI uang tidak berubah. Sedikit membingungkan? Gak juga. Ambil contoh misalnya -sesuai isu yang beredar saat ini- nilai Rp1.000 akan disederhanakan menjadi Rp1. Bagaimana dengan nilai barang? Tidak ada masalah. Ambil contoh, sekaleng coca cola saat ini harganya Rp5.000. Setelah denominasi, harganya disesuaikan menjadi Rp5. Jadi nilai riil atau daya beli uang pada dasarnya tidak berubah.
Lain halnya dengan sanering. Sanering merupakan pemotongan NILAI atau DAYA BELI uang. Sanering biasa dilakukan oleh negara dengan perekonomian kacau, tidak stabil yang ditandai dengan inflasi yang tinggi. Inflasi yang tinggi menjadikan uang tidak bernilai, karenanya perlu dipotong nilainya. Bila sanering diberlakukan dengan ketentuan Rp1.000 nilainya dipotong menjadi hanya Rp1, maka sekaleng coca cola bukannya menjadi Rp5, tetapi harganya tetap Rp5.000. Bisa dibayangkan betapa ‘hebohnya’ pengaruh sanering bila diberlakukan.


Untung Ruginya…
Lalu apa untungnya denominasi? Saya sih melihatnya lebih ke penyederhanaan yang memudahkan. Seorang akunting tidak perlu menulis angka nol berderet-deret. Angka-angka transaksi saat ini semakin besar seiring kenaikan harga-harga. Hampir semua barang (apalagi kalo beli banyak) pasti ngomong jutaan. Alangkah sederhananya bila cukup menulis beberapa ribu rupiah saja..
Saat membawa duit beberapa juta saja, kantong langsung gembul. Kalau puluhan juta, mesti pakai tas atau kantong plastik. Mungkin lebih enak kalau mau ke bank menabung Rp5 juta, tetapi setelah denominasi, cukup bawa uang 5 ribu rupiah… Ke mall mau beli hape harga 3 jutaan, cukup bawa uang 3 ribuan rupiah… Lebih nyaman kan?
Dalam skala lebih besar, anggaran negara kita sudah menembus angka ribuan trilyun rupiah… Dalam beberapa tahun mendatang angka-angka tersebut akan terus membesar sampai kalkulator tidak sanggup memuatnya. Angka-angka itu dirinci lagi dalam ratusan pos pada ribuan satuan kerja (institusi) negara, dengan komplikasi perhitungan dan pelaporannya…betapa merepotkannya menulis nol yang berderet-deret… Lagipula, apakah angka trilyun betul-betul sudah bermakna trilyun, jangan-jangan hanya menyesatkan dan dibesar-besarkan.
Sisi psikologis juga berbicara dalam hal ini. Bagi negara-negara yang pernah mengalami krisis ekonomi berat sehingga inflasi membubung (nilai uang jatuh), denominasi yang dilakukan dengan baik dapat membawa arti pembaharuan. Mata uang dengan digit yang lebih sedikit menandai akhir trauma ekonomi dan memulai langkah yang baru, lebih sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Contoh yang paling sering diangkat belakangan ini adalah keberhasilan Turki dalam proses denominasi. Waktu itu 1 US Dollar kurang lebih sama dengan 1 juta Lira (saat ini Indonesia Rp9000-an).
Lalu ada yang komentar tentang kesulitan yang mungkin dihadapi masyarakat kecil, dimana nilai uang Rp50 sekalipun masih sangat berarti. Sepanjang isu denominasi dan bukan sanering, hal tersebut tidak perlu dikuatirkan. Bila denominasi sungguh terjadi, pasti akan muncul nilai ‘sen rupiah’ untuk mendukung masyarakat yang bertransaksi barang pada nilai yang lebih kecil.
Kekuatiran umum yang muncul dari ide ini adalah ketidaksiapan masyarakat dalam transisi mata uang. Tetapi pihak Bank Indonesia mengatakan bahwa transisi ini kemungkinan berlangsung selama 10 tahun dengan tahapan-tahapan yang direncanakan dengan baik.
Masalah lainnya adalah biaya pengadaan mata uang baru diikuti penarikan mata. Tentu ini memerlukan biaya besar. Lalu perubahan label harga-harga barang di seluruh toko, mall, ataupun supermarket. Tentu ini menimbulkan cost tersendiri. Akan tetapi bila suatu kebijakan dilakukan dengan motivasi yang positip, disampaikan dengan baik, pastilah akan berjalan dengan baik pula. Lagipula, tidak ada kebijakan yang selalu dapat memuaskan semua pihak bukan?







uang dollar Zimbabwe dengan nilai hanya 5 Dollar Amerika!
Negara-negara maju kebanyakan lebih efisien menggunakan nol pada mata uangnya. Saat ini USD1.000 = Rp9.000.000. Jadi bila nol masih berderet-deret, paling tidak ini indikator untuk menentukan negara kita kira-kira berada pada kategori mana.
Bila memperhatikan jumlah digit rupiah dan situasi perekonomian yang relatif stabil, sepertinya ide denominasi patut dipertimbangkan. Akan tetapi jangan sampai hanya karena mau mengejar kategori negara maju, lalu kita seenaknya memotong angka nol tanpa perhitungan yang presisi.. Apapun kebijakannya, semoga berjalan dengan baik demi kemakmuran bangsa.

Jakarta – Pernahkan anda membayangkan untuk menerima gaji sebesar Rp 1.500 per bulan? Ya, kemungkinan besar hal tersebut akan terjadi kira-kira 5 tahun kedepan jika saat ini gaji anda sebesar Rp 1,5 juta.
Pasalnya, Bank Indonesia (BI) tengah melakukan pembahasan internal untuk dapat melakukan redenominasi. Redenominasi yaitu pengurangan nilai pecahan tanpa mengurangi nilai dari uang tersebut. Kasarnya, angka nol dalam sebuah pecahan akan dikurangi, jika dikurangi 3 angka nol maka Rp 1.000.000 akan menjadi Rp 1.000.“Redenominasi itu prosesnya akan dibicarakan dulu dengan pemerintah dan presiden dan harus melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru kita sosialisasikan,” ujar Gubernur Bank Indonesia terpilih Darmin Nasution di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Sabtu (31/07/2010).
Darmin menuturkan, pihaknya akan segera menyampaikan hasil final pembahasan internal kepada pemerintah di tahun 2010. “Belum bisa diputuskan sekarang berapa angka nol yang dikurangi apakah 3 atau 4 namun hasil pembahasan akan diusahakan disampaikan ke pemerintah tahun 2010 ini,” jelas Darmin.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia S Budi Rochadi mengatakan, dalam melakukan redenominasi membutuhkan waktu antara empat sampai lima tahun.
“Prosesnya tidak singkat, harus membutuhkan 4 sampai 5 tahun,” katanya.
Menurut Budi, diperlukan adanya penarikan uang secara bertahap yang beredar di masyarakat. Seperti diketahu uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000.
Uang rupiah saat ini tercatat mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dollar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.
Budi menuturkan, untuk bisa melakukan penyederhanaan satuan uang tersebut membutuhkan sejumlah persyaratan. Setidaknya ada tiga syarat yang mutlak dipenuhi yaitu kondisi perekonomian yang stabil, inflasi rendah dan stabil, serta adanya jaminan stabilitas harga.
“Hal yang paling sulit dilakukan dengan cepat dan mudah adalah sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa,” tukasnya.